Image from aqisthiaf.blogspot.com |
Malam
ini aku dan anakku keliling dunia. Dari rumah kami di
Jakarta Timur, terlebih dahulu aku mengajaknya melihat kepulauan
nusantara: sumatra, jawa, kalimantan, sulawesi dan Irian. Meski
dipisahkan oleh laut pulau-pulau ini adalah satu kesatuan Indonesia.
Anakku bertanya dimana rumah neneknya. Aku menunjuk sebuah titik di
ujung pulau Sumatra. Aceh. Kukatakan padanya “Aceh adalah
nanggroemu, kemanapun kamu
pergi di belahan bumi manapun kamu hidup, pulanglah suatu ketika”. Anakku tersenyum “aku anak Aceh ma” katanya bangga. Kuusap kepalanya lalu kugandeng tangannya ada yang ingin kutunjukkan. Kami terbang berputar-putar, mataku mencari-cari hingga beberapa saat aku tak yakin dimana letak titik itu. Sebuah dusun kecil di pelosok Tamiang; Pulau Tiga.
Aku
ingin berbagi kenangan masa kecilku dengannya, namun sepertinya dusun
itu terlalu kecil hingga tak mungkin dapat kutunjukkan padanya dari
atas sini. Tapi aku masih ingat jelas akan aliran sungai kaloy di
antara deretan perkebunan sawit tempat aku bermain, mencari udang,
berenang hingga berjam-jam. Airnya yang jernih dan sejuk membuat aku
dan teman-temanku betah meski buku-buku tangan kami membiru dan bibir
kami memucat karena kedinginan. Sungai itu pula yang menghidupkan
imajinasiku pertama sekali karena puisi pertamaku lahir disitu, di
antara pasir-pasir pantainya yang luas, di antara tebu-tebu liar yang
menari tertiup angin.
Sungai
itu anugerah masa kecilku. Tapi sungai itu kini telah hilang tak ada
lagi pantai tak tampak lagi ikan-ikan kecil berenang dalam
kejernihannya dan tak ada lagi kanak-kanak yang bercanda dalam
keharmonisan riak alirannya (orang tua mereka takut anak-anaknya
hanyut-red). Semuanya berganti dengan ‘kubangan’ keruh berlumpur
yang engkaupun akan ragu mencuci tanganmu disitu. Illegal logging
menodainya. Keserakahan manusia menghilangkan salah-satu anugerah
alam bagi anak cucunya.
Tanganku
ditarik anakku membuat aku sadar kembali dimana kami kini. Ia
menunjuk sebuah daratan besar berbentuk tidak beraturan.
“ini
apa ma?”
“ini
Australia. Aku lalu membawanya pada sekumpulan binatang yang sedang
melompat-lompat, binatang itu tampak lucu dengan kantong di perutnya.
“Disini
banyak kangguru nak, kaki-kakinya sangat kuat ia bisa berlari dengan
kecepatan 30 mil perjam” anakku lalu berdiri melompat-lompat meniru
cara kangguru berlari. Lompatan anakku tinggi sekali hingga sepasang
kaki kecilnya menginjak sebuah daratan besar berwarna pink. Aku
perhatikan ini adalah daratan Rusia yang sangat luas, hingga jika
kita berjalan dari ujung ke ujung Rusia kita akan menjalani hampir
separuh bumi ini.
“ yang
biru ini kan lebih besar ma” anakku protes
“yang
biru ini lautan sayang” anakku benar batapa lautan ini sangat luas.
Hampir dua pertiga dari bumi ini adalah lautan.kutunjukkan padanya
lautan Atlantik, Pasifik dan Hindia.
Aku
lalu mengajaknya menyebrangi lautan Atlantik mendarat di sebuah
negeri cantik, Paris-Perancis. Kami memandang kagum pada menara Eifel
yang menjulang anggun, mengunjungi museum Louvre tempat dipajangnya
lukisan-lukisan masterpiece dari pelukis-pelukis hebat dunia. Kami
lalu melihat kerumunan orang-orang dengan berbagai ras berjalan cepat
pada suatu kawasan bangunan, Sorbone University. Aku menatap anakku
penuh arti. Ambisi seorang ibu membakar hatiku.
“ kamu
mau kuliah disini?” ia balas menatapku ragu, alisnya berkerut.
“ Ini
kampusnya orang-orang hebat, ilmuwan dunia” alisnya semakin
berkerut, akal kanak-kanaknya berusaha mencerna kata-kataku.
“ Polisi
itu paling hebat ma, aku mau jadi pak polisi” gantian alisku yang
berkerut
“Polisi?”
“Iya
ma, polisi lalu lintas. Kalau ada orang jahat yang ngebut aku tembak
ke atas Dor..dor..” ia lalu berlari mengambil tembak mainannya lalu
dengan gagah berdiri bergaya bak polisi mengejar penjahat di
film-film koboi.
“Dor..dor”.
ambisiku bagai tersiram air. Yah jadi apapun bolehlah asal jangan
jadi mafia. Sekarang ini dimana-mana banyak mafia di kepolisian, di
peradilan, di dewan rakyat bahkan mungkin di kampus-kampus atau
sekolah-sekolah juga ada dari skala teri, tongkol sampai paus.
“Jadi
apapun boleh nak, tapi jadilah orang baik” putusku akhirnya
menyadari tak guna memaksa ambisiku untuknya. Anakku punya ingin dan
citanya sendiri. Anakku tersenyum dengan senyuman khasnya menampakkan
gigi-giginya yang unik.
Mataku
lalu tertuju pada sebuah gambar berwarna putih. Itu Svalbard. Aku
baru tahu kalau Svalbard itu benar-benar ada tadinya kufikir hanya
negri fiktif versi Golden Compass Movie dimana terdapat kingdom of
the ice bears, kerajaan beruang es yang dipimpin oleh rajanya bernama
Lorek Berninson.
Anakku
tampak menguap. Kulirik jam di dinding telah menunjukkan pukul 20.30
WIB. It’s time to sleep. Aku lalu mengajaknya merekatkan double
tape pada bagian belakang peta dunia ini dan menempelkannya di
dinding bersebelahan dengan poster Hijaiyahnya. Masih banyak negara
yang belum kami kunjungi. Aku berjanji akan mengajaknya lagi lain
kali. Semoga ada pelajaran yang ia dapat malam ini. Setidaknya ia
tahu bahwa dunia ini tidak hanya selebar cijantung ini hingga
pemikirannya akan terbuka kelak. Amin.
5 komentar:
iya anak gk bole dikekang tapi diarahkn
semoga terkabul doanya dan aku juga bisa keliling dunia terutama ke saudi dan nil mesir
Keren mbak :)
Ada yang kangen kampung halaman kaya'nya nih... :p
Pengisah: setuju ^^d
artikel 2015 : Amin
Ika : Makasih, ika juga keren :)
Diela : Kangen itu selalu he..he.. btw ini tulisan lama loh
Bagaimana pendapat Anda...