Arsip karya anggota pramuda 16 FLP Jakarta.

Sabtu, 23 Juni 2012

Puisi Estafet dari Pramuda 16 FLP Jakarta



Bismillahirrahmaanirrahiim

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Puisi estafet ini adalah puisi yang kami buat secara berlanjut. Puisi ini kami persembahkan untuk semua pramuda 16 FLP Jakarta beserta seluruh crew FLP Jakarta yang telah berbaik hati mengurus semua keperluan berlangsungnya pramuda 16 FLP Jakarta. Terimakasih.

·         Ayam Goreng dalam Lingkaran
Oleh: Rosika Azahra

Ayam goreng itu berkilauan
Menyembul dari  wadahwadah styrofoam yang silau terkena mentari yang menantang

Di bawah daun-daun yang terkantuk oleh gumam angin
Dalam lingkar yang menguat sebuah ikatan
Ada berjuta kata yang terungkap
:Persaudaraan

Semangat adalah satu amunisi yang mampu membumbungkan mimpi bersama
Harapan bersama. Tekad bersama.
Hidup kita, langkah kita adalah sebuah arti!!
Bahwa kita adalah para pejuang mimpi
Yang tak lelah dan tak akan lelah untuk terus meniti.

Ayam goreng itu berkilauan dalam lingkaran
Mengundang iri pada kucing-kucing yang kelaparan
Mengungkap sebuah arti perkenalan.
 Jakarta, 03 Juni 2012

·         Puisi ini kemudian dilanjutkan oleh Selvi Ermawati,
 sebuah wadah untuk belajar.
sebagiannya menjadikan wadah itu sbg tangga mimpi utamanya.
sebagian lainnya menjadikan wadah itu sbg jembatan untuk meraih mimpi lainnya.
jika mimpi itu teramatlah berat, semoga bahu2 yg bertemu itu mampu menjadi penopangnya.
saat mimpi itu menemui ujungnya, semoga syukur tak terlupa
bahwa kita pernah dipertemukan dalam goresan demi goresan tinta.

tak ada perjuangan yg mudah, oleh karenanya sedikit orang yg mau mengambil letihnya.
tak ada perjuangan besar dg jalan pendek, oleh karenanya waktu tak pernah berkata ulang.
 setiap detik perjumpaan kita kelak menjadi senyum indah saat sukses ada di genggaman kita.
09 Juni 2011

  • Oleh : Hiraqo Isti
 Tahukah engkau, ada bimbang yang menderaku nyaris sempurna
Saat ku sadar waktu terindah itu akan pergi
Meski sejatinya rasa itu tersimpan didalam hati
Meski ku tau, lantunan doa-doa itu akan selalu iringi
Setiap jejak langkah

Menggenapkan setiap mimpi yang kita miliki
Maka...
Ijinkan aku mematri semuanya disni
Di dinding hati dalam bingkai imagi

Ijinkan aku, menganggumu
Saat aku tergugu dalam rindu
Ijinkan aku temuimu masih dalam mimpi yang sama
Karena hadirmu buatku percaya
Cinta , Semua rasa yang ada dan
Mimpi itu
Nyata...nyata...nyata
Maka segeralah rengkuh Dia
 09 Juni 2012
·     
    Oleh : Damar Sang Pengembara
 **Meski mimpi itu kini masih berupa benih-benih yang brsemayam di wadah styrofoam..
Namun panas sengat matahari siang itu bagai sengatan semangat untuk dapat mengeluarkan benih itu dari wadahnya..
Yang kemudian menumbuhkan akar-akar keyakinan yang kuat utuk terus tumbuh dan semakin besar..
Seperti kokohnya pohon besar yang berdiri menaungi lingkaran persahabatan di bawahnya..
Dimana setiap harapan telah di tulis pada lembaran daun yg dikumpulkan dalam bungkus ketulusan doa bersama..
 Memohon Agar setiap sayap-sayap mimpi itu sanggup menemukan angin nya untuk dapat terbang membumbung tinggi menyentuh langit..
 Dan suatu saat nanti sayap-sayap mimpi itu akan membawa sang jiwa menuju tempat terindah.. Tempat dimana semua harapan menjelma menjadi suatu yang nyata.**
 Amiiin..
 *terima kasih sobat..
Dapat mengenal wajah kalian merupakan lingkaran indah anugerah yg sulit untuk di lupakan..

10 Juni 2012

  • Oleh : Saka Mukti
Saat tubuh terbaring lemah
Saat Raga tak mampu menembus ruang
Yakinkan diri untuk selalu menjaga niat
Yakinkan harapan tetap menyalakan semangat
Mimpi-mimpi itu akan terus merasuk dalam setiap molekul aliran darah
Tak akan ada kata untuk menyerah
Tak akan ada kata untuk berhenti
Karena telah terpatri dalam-dalam
Sebuah harapan yang akan membawa menembus keterbatasan
Kesuksesan berawal dari sebuah kesiapan
Maka bersiaplah
Sebab tak ada kesuksesan yang dicapai dengan mudah
Maka berjuanglah
Suatu saat jika sayap-sayap itu telah mengantarmu kelangit yang tinggi
Ketempat dimana mimpi menjadi nyata
Berteriaklah pada dunia
Kabarkan pada dunia
Bahwa engkau ada dengan kebanggaanmu

10 Juni 2012

  • Oleh : Aisy Az Zahra
tetapkan satu tujuan, pastikan arah impian
buanglah keraguan
lepaskan belenggu ketakutan
tumbuhkan keberanian
yakin dan percayalah kita ada untuk menjadi penulis masa depan
penggerak perubahan

10 Juni 2012

  • Harapan
Oleh: Agus Setiawan

Wajah-wajah inilah yang dicemburui malaikat
Wajah-wajah kemanusiaan
Seperti embun pertama kali tercipta
Seperti cahaya pendaran surga

Seperti laron-laron kecil
Yang menerbangkan tubuhnya pada lidah sang lilin
Itulah cinta, kata Rumi.

Pada tangan-tangan kecil mereka
Akan ditulis sejarah bangsa ini
Lewat mata ketiga, diluar istana.

Biarkan pena-pena masa depan menyambut mereka
Biarkan para malaikat mencatat mimpi-mimpi mereka
Karena hasil akhir itu
Bukan engkau, mereka atau kita yang menentukan
Semua bermuara pada Dia.

Aku berlari bersama mimpi
Aku berkelana bersama angan
Beringin tua; kaulah saksi kami.

Jakarta, 15 Juni 2012

  • Oleh : Haya Nufus
 Apa yang tak terentas dari tajamnya sebuah kata serupa mimpi
Seperti segala ‘celoteh’mu yang meniupkan cemburuku
Dalam lingkaran itu kueja nama kurekam wajah
Satu.. satu...

15 Juni 2012

  • Oleh : Lily Azkiya
 Terik matahari siang itu tak dapat lunturkan semangat kebersamaan yang terpatri sebelumnya. Duduk melingkar di bawah naungan pohon tua yang bersahaja, mengobrol riang dalam suasana siang yang tenang, hembusan angin temani kami, satu-satu daun-daun terlepas dari dahannya, jatuh di atas jiwa-jiwa pengembara milik pramuda para penulis muda.
 Perlahan lembaran-lembaran buku dibuka, ceritakan kisah para pengembara, juga mimpi dan asa milik mereka, kami. Tinta-tinta di tuangkan dalam lembar-lembar putih tanpa noda. Sisakan jejak angan juga harapan yang kelak terwujud di atas langit.
 Di langit biru yang tenang, jutaan awan beriringan berjalan menaungi kami di balik kanopi-kanopi pohon yang rindang, sedangkan sesaat mentari mengintip di cela-cela dedauanan yang rimbun, sinarnya hangatkan kami dalam lingkaran persaudaran yang perlahan menguat seiring kisah yang terus bergulir.
 Saling dekat dan bertukar angan, tentang cita yang masih dalam Kristal-kristal mimpi, saling genggam dan menguatkan “ingin” yang secuil…

17 Juni 2012
·         Epilog
Untuk sebuah nama bernama cita-cita
"Kawan,setinggi-tinginya cita-
cita, ingat! ada yang lebih tinggi dari itu.
Bawalah Allah selalu dalammenggapai cita-citamu.."
 Jakarta, 21 Juni 2012
Pramuda 16 FLP Jakarta


Selasa, 19 Juni 2012

Harrath : Cerpen Fantasi


Tubuhnya tergugu mengeras bak kayu. Tak mati karena tak mengeluarkan busuk selayaknya mayat. Juga tak hidup karena segala telah tercerabut paksa dari laci memorinya. Untunglah tangan keriput wanita renta berambut sekelabu mendung itu tak bosan menyuapinya, agar perut tetap mengolah makanan yang menggerakkan segenap organ dalam tubuhnya untuk terus bekerja tak boleh ikut mengeras, serupa tangan dan kaki yang memang telah dipensiunkan terlalu dini dalam umurnya yang masih sangat muda. Ia pernah begitu mempesona dengan kilau perak di kedua bola matanya yang jarang terpejam. Tapi itu dulu, mata perak itu kini berubah seputih pualam. Putih, kaku dan dingin. Tubuh kekarnya dulu sangat serasi di atas kuda satria yang menebarkan gagah dan beraninya. Sekarang semua setuju ia hanya sekerat daging yang untungnya tak mengundang lalat mendekat, karena tangan keriput itu juga rajin menyeka tubuhnya dengan air bersih dan membolak-balik posisi tidurnya agar tak memberi kesempatan borok berkubang di punggung kakunya.
Namanya Harrath, dulu ia adalah segumpal kapas yang terlepas dari pelepahnya. Begitu ringan dan bebas, Ia bahkan tak bisa mengendalikan tubuhnya yang kerap terbang ke mana angin membawanya. Dan angin terlalu sering mengkhianatinya. Suatu senja angin membawanya menjejak kebun si tua Hermeth tanpa ada keperluan. Seorang gadis bergaun putih dengan renda yang menjuntai di kaki sedang duduk di sebuah bangku. Gadis itu kaget dengan hadirnya namun hanya sebentar sampai ia terpaut pada binar perak kedua mata Harrath yang juga kagum menatap sang gadis.
Mata perak yang begitu indah” desis si gadis yang tak rela berpaling dari tatapnya. Harrath tersenyum mendengar pujian itu. Senyum yang memancing dan magis. Mengajak si Gadis mendekatkan wajahnya pada Harrath. Jemari lentik gadis itu akan menyentuh kulit wajah Harrath ketika Harrath berbalik dan mengayun kakinya menjauh. Gadis itu mengikuti langkah ringan kaki Harrath. Harrath terus berjalan dan si gadis terus mengikutinya meski semak menghalangi langkah dan merobek bagian bawah gaun indahnya. Harrath mempercepat langkahnya semakin cepat dan lalu berlari menciptakan jarak dengan si gadis. Gadis berusaha mengejar mengacuhkan keanehan yang terjadi. Hingga Harrath semakin menjauh dan tak lagi tertangkap matanya. Gadis melihat sekitarnya yang kini begitu berbeda. Bukanlah perkebunan tempat tadi ia berada. Sekelilingnya kini berwarna perak serupa mata si lelaki. Gadis berteriak ketakutan namun tak ada yang mendengar. Ia terperangkap!
Harrath sendiri telah kembali di perkebunan dan si tua Hermeth melihatnya yang tersengal-sengal.
Kau seperti baru berlari, darimana kau? Apa ada yang mengejarmu?” Harrath menggeleng lalu mengambil nafas dalam mencoba menenangkan dirinya.
Anda punya bibit arbei, nenek memintaku untuk membelinya darimu” ujarnya kemudian.
Si tua Hermeth lalu mengambilkannya bibit itu. Ketika Harrath keluar dari pagar yang dijalari rumpun mawar ia mendengar si tua Hermeth memanggil-manggil sebuah nama.
Hanan! dimana kau?” Hanan tentu nama gadis yang tadi ia temui, tapi Harrath lalu tak perduli lagi. Meski tetangganya itu lalu gaduh mencari ke seluruh sudut desa.
Kau melihatnya bukan? Katakan dimana ia?” Si Tua Hermeth tak tahu harus mencari kemana lagi ketika fikiran warasnya mulai mencurigai Harrath. Namun pemuda itu menggeleng simpati. Menampilkan wajah yang mengasihani seolah berkata betapa cepat pikun mendatangi lelaki itu.
Kau muncul sore itu, ketika ia di kebun!” ia semakin gusar dan tampak emosi.
Siapa Hanan pak tua? aku tak pernah melihat seorang gadispun di rumahmu. Kau hanya mengingau” komentarnya. Orang-orang desa bergumam membenarkan. Selama ini si tua Hermeth hanya tinggal seorang diri di rumahnya yang terletak di tengah-tengah kebunnya yang luas.
Dia cucuku. Hanan hilang!” ceracaunya resah.
Orang-orangpun menggeleng prihatin namun berseloroh menggunjing di belakang si tua Hermeth.
Darimana ia punya cucu perempuan bukankah anakpun ia tak punya?” sebuah suara bertanya.
 “Ia pernah menikah tapi hanya beberapa bulan istrinya pergi meninggalkannya. Kufikir tak ada yang mau berlama-lama mendengar beragam keluhnya” suara yang lain lebih keras sampai juga di telinga Hermeth. Menusuk hatinya. Ia tahu ia tidak bermimpi ketika Hanan datang dan mengatakan bahwa ia adalah cucu perempuannya dari anaknya yang dulu dibawa kabur oleh sang istri setelah segala pertengkaran mereka tak menemui titik temu. Hermeth terlalu cemburu pada istrinya yang memang berparas jelita. Kecemburuan yang membuatnya ringan tangan dan ringan lidah dan wanita itupun memilih lari dengan membawa anaknya serta, anak yang lalu memberinya seorang cucu. Hanan.
Dan suara sumbang orang-orang desa mendadak lenyap ketika berselang hari beberapa orang tua lain latah meriuh mencari anak gadis mereka yang tiba-tiba hilang. Siera gadis bermata biru yang gemar bersenandung, Rier gadis pemetik kecapi, Lein yang senang bersiul menirukan suara kicau burung peliharaannya juga gadis-gadis seusia mereka lainnya. Mengapa para gadis menghilang.
Orang-orang desa menjadi geger. Mencari-cari dalam celah desa bahkan hingga ke kota. Mungkin anak-anak gadis itu tak tahu jalan pulang. Namun tak ada hasil. Hingga hari berganti minggu dan minggu berganti bulan. Mereka lenyap!
Hanya wanita tua itu yang menatapnya menghakimi seolah mampu membaca segala gerak dan fikirnya bagai melihat ikan-ikan yang berenang dalam toples kaca bening. Sesekali wanita itu berujar.
Kau harus membebaskan iblis di otakmu Har” Tapi Harrath hanya diam seolah tak mengerti lalu menjauhi wanita tua itu. Dan memang ia tak sepenuhnya mengerti.
Dimana para gadis?” kejar wanita tua yang tak lain adalah nenek yang selama ini tinggal bersamanya. 
Harrath bimbang tak mengerti. Kemana mereka? Ia tak tahu. Meski dalam sekeping memorinya ia mengakui melihat para gadis itu. Awalnya ia menyangka mereka hanya ia lihat dalam mimpi. Namun mereka hilang? Kejaran pertanyaan wanita tua membuatnya gundah juga. Adakah sesuatu yang tak ia sadari?
Dalam kebimbangannya ia berdiri di depan sebuah cermin yang menampilkan seluruh tubuhnya juga mata perak itu. Ketika berdiri itulah ia tahu beberapa kali jiwanya hilang ada sesuatu yang mengambil alih tubuhnya. Seperti kilatan cahaya berubah warna sekejap seperti setiap slide yang lalu bertubi menghajar memorinya. Ia terengah dalam kebimbangan menerjemahkan kilatan episode itu. Sampai melihat tubuh dalam cerminnya meretak terpecah dalam kepingan-kepingan kecil. Pada setiap keping terlihat wajahnya yang aneh. Semua wajah itu adalah wajahnya namun tampak berbeda-beda, dengan berbagai ekspresi.
Aku siapa?” tanyanya pada cermin resah.
Yang mana wajahku?” tak ada jawaban.
Ia berteriak gaduh memukul cermin yang lalu pecah menghamburkan ke wajah dan tubuhnya. Darah dari tangannya mengalir mengamisi pembauannya. Tapi wajah-wajah itu tak juga menghilang terus mengikuti arah fikirnya. Berjejalan di otaknya ingin menguasai fikir dan jasadnya.
Ia menajamkan telinganya beragam suara berdengung. Itu suara para gadis. Apakah mereka berada dekat dengannya? Ia mencari ke segala arah namun suara-suara itu dengan frekuensi yang tetap ketika ia diam, berjalan atau berlari. Tak ada suara yang mendekat atau menjauh. Suara-suara itu terjebak pada suatu tempat yang tak terjangkau.
Kau harus mencari mereka Harrath”
Kemana?”
Mereka dekat denganmu, tidakkah kau sadar? Kau harus melawan iblis yang mencuri fikir dan ragamu”

Selasa, 15 Mei 2012

Mata Pelangi



i
Selalu, dua jiwa bercuap pelangi tatkala habislah rintik
Bahwa pelangi, mengucap secercah binar lengkung
Itulah kau
Dengan mata yang berbinar merekah pelangi
Katamu, “mewarni selalu indah”
Tapi yang kurasa kini hanyalah sepi

ii
Dalam senja yang mengeja cericit pipit dalam rintik gerimis
Matanya mengalun wicara
Mengerling tujuh warna pelangi
Katanya, “mewarni selalu indah”
Aku bisu. Terpaku teringat kau

iii
Kelam, mungkin memang kelam
Satu sisi dalam sama merah darah
Menyisa sepi
Tapi kemudian aku tau
Bahwa, “mewarni akan selalu indah”
Itu kau dan kini adalah dia.
Yang  sama
Tapi tak serupa
: mata pelangi

Jakarta, 12 Mei 2012
-Rosika Azahra-

Minggu, 13 Mei 2012

Malam ini aku dan anakku keliling dunia.


Image from aqisthiaf.blogspot.com



Malam ini aku dan anakku  keliling dunia. Dari rumah kami di  Jakarta Timur, terlebih dahulu aku mengajaknya melihat kepulauan nusantara: sumatra, jawa, kalimantan, sulawesi dan Irian. Meski dipisahkan oleh laut pulau-pulau ini adalah satu kesatuan Indonesia. Anakku bertanya dimana rumah neneknya. Aku menunjuk sebuah titik di ujung pulau Sumatra. Aceh. Kukatakan padanya “Aceh adalah nanggroemu, kemanapun kamu

Minggu, 06 Mei 2012

Kacamata untuk Emak



“Wa annallaaha yahdii man yuriid...,” suara Raka nyaring diikuti suara emak yang terbata-bata membaca ayat ke-16 surat Al-Hajj. Tanpa dikomando, Raka kemudian mengurangi kecepatan bacaanya, mengimbangi bacaan emak.

Emak sangat rajin mengaji. Ba’da magrib, Isya, Subuh, rutinitas itu selalu beliau kerjakan tanpa alpa. Tapi sayang sudah satu bulan ini ada yang mulai dirasakannya. Beliau kadang mengeluh bahwa tulisan-tulisan di Alqur’an sudah agak samar di matanya. Mungkin inilah yang dinamakan penyakit sepuh. Penyakit yang sering hinggap pada seseorang yang tengah menginjak usia lanjut. Dan ternyata benar, setelah diperiksa ada masalah dengan mata emak. Emak sudah mulai terserang presbiopi.  Beliau harus membeli kacamata. Tapi apadaya, emak tak punya uang untuk membelinya.

Beberapa kali emak terlihat menangis. Bacaan yang biasanya lancar, kini malah amburadul tak karuan.  Raka tak kuasa melihatnya. Maka setelah itu, Raka menuntun emak membaca Al qur’an. Untunglah Raka selalu belajar mengaji di masjid gang sebelah. Jadi, Ia pandai untuk membimbing emak.

“Shadakallahul adziim,” Raka mengakhiri bacaannya, tentu dengan masih diikuti suara emak.

“Emak habis ini istirahat aja dulu, pasti emak cepek seharian tadi bantu-bantu di rumah pak Haji Idris,” saran Raka sembari membenahi Al Qur’an.

“Iya lek, hari ini emak capek sekali. Tapi nanti mau nunggu shalat isya dulu ya, uhuk... uhuk...”

Raka mengangguk. Dalam hati kecilnya ada rasa  perih melihat emak yang sudah mulai sakit-sakitan. Beliau memang bukan Ibu kandung Raka, tapi kasih sayang yang diberikan emak kepada Raka sungguh membuat Raka menyayangi emak lebih dari siapapun.

Ketika itu Raka masih berumur 8 tahun. Dari kecil Raka tinggal disebuah panti asuhan. Untuk Ibu dan ayah kandungnya, Raka sendiri tak tahu bagaimana rupa mereka. Dalam umurnya yang masih terbilang amat belia itu, Raka  pergi meninggalkan panti. Untuk alasannya sendiri, Raka belum tahu persis apa yang benar-benar mendorongnya untuk melakukan hal senekat itu. Ia selalu takjub melihat kehidupan jalanan. Maka, meski masih belia Ia akan kuat memegang dan memperjuangkan apa yang diinginkannya itu.

Jadilah Ia menjadi anak jalanan, makan entah dari mana saja. Kadang menjadi kuli pasar, kadang menjadi tukang cuci piring, kadang juga menjadi pengamen. Yang pasti satu tekadnya, dalam keadaan apapun ia tak akan menjadi pengemis atau pencuri. Lebih baik menjadi tukang sapu daripada mengemis. Begitulah tekad Raka cilik..

Hingga akhirnya bertemulah Raka dengan emak. Waktu itu  Raka tengah  memegangi perutnya yang kesakitan. Dua hari ia tak makan. Emak yang baik, lalu mengajaknya ke gubuk sederhananya. Keadaan emak tak jauh berbeda dengan Raka. Emak pun bekerja serabutan. Kadang mencuci baju di tetangga, kadang mencari bekas-bekas botol aqua atau apa saja. Ternyata emak tinggal sendiri, ketika Raka menanyakan di mana keluarga yang lainnya, emak hanya menunduk , ada bulir-bulir air mata yang terjatuh ke pipinya. Raka pun tak berani menanyakan hal tersebut lagi pada emak. Dan emak yang memang hidup sendiri meminta Raka untuk tinggal bersama di rumahnya. Tadinya Raka ragu, tapi melihat emak yang memang benar-benar sendiri, Raka pun tak tega untuk menolaknya. Toh, selama ini juga dia tak punya tempat tinggal.

Ternyata emak sangat baik. Selalu menyiapkan sarapan. Selalu menyuruh Raka untuk mengikuti sekolah alam sejenak yang diadakan oleh salah satu LSM dalam rangka pembinaan anak-anak jalanan. Selalu mengingatkan Raka untuk shalat lima waktu dan tak lupa pula selalu meminta Raka untuk ikut belajar mengaji di mushala gang tetangga.

Ah emak begitu baiknya dirimu, bathin Raka dalam hati. Pandanganya tak lepas dari emak yang menerawang ke luar rumah. Entah apa yang sedang dipikirkan wanita baya itu.

***

Crek crek...Raka menggoyang-goyangkan celengan ayamnya untuk melihat sudah seberapa banyakkah tabungan miliknya. Ah, nampaknya  sedikit lagi. Raka tersenyum ceria. Raka benar-benar tak sabar agar celengan itu benar-benar  penuh.  Raka ingin membelikan kacamata untuk emak. Ia ingin melihat emak lancar membaca Al Qur’an.. Bukan, bukan karena Raka telah lelah menemani emak membaca Al Qur’an. Tapi justru karena Raka ingin melihat  senyum emak saat membacanya. Emak selau rajin membaca dan mentadaburi Al Qur’an. Lagi pula Raka ingin membelikan Al Qur’an baru untuk emak. Al Qur’an yang sekarang sudah kusam ditambah lagi banyak yang sobek halaman-halamannnya. Maka dari itulah Raka rela mengamen untuk menambah uang penghasilan demi memberi hadiah istimewa buat emak.

“Lampu merah, ka!!” teriak Nino si gendut pada Raka. Sementara Raka terhenyak dari lamunannya mendengar suara Nino.Segera, kedua bocah itu langsung berpencar mendekati pintu kaca mobil yang berhenti di stoppan lampu merah. Raka menuju mobil xenia silver sementara Nino menuju Daihatsu yang ada di belakangnya. Tangan Raka  lihai memtik senar gitar yang telah usang itu.

“ Bertahan satu cinta, bertahan satu C.I.N.T.A ....,” alunan lagu D’Bagindaz terdengar merdu dari mulut Raka. Raka terus saja menyanyi sampai orang tambun berkumis tipis yang duduk di dalamnya membuka kaca mobil lalu melemparkan selembar uang kertas bergambar Sultan Mahmud Badaruddin II  pada kantong permen milik Raka.

Raka tertegun tak percaya memandangi lembaran itu, termasuk jumlah yang cukup lumayan untuk ukuran pengamen jalanan seperti Raka. Jarang sekali orang-orang yang memberi uang segitu. Paling dari mereka tak jauh dari seribu atau bahkan ada saja yang memberi uang receh dua ratus rupiah.

Baru saja ia mau mengucapkan terimakasih, Sang pemilik mobil langsung menutup pintu kacanya. Hmmm, Raka mendengus tapi kemudian tersenyum kecil. Tak apa, yang pasti pemilik mobil itu masih mau membagikan sedikit rezeki untuknya. Dan ya, meski sekilas pemilik mobil itu terlihat menyeramkan, tapi dia berhati baik juga. Pikir Raka dalam hati. Ah, rezeki... syukuri saja. Lanjut ocehan bathinnya.

Raka melangkahkan kakinya ke mobil-mobil yang lain dengan penuh semangat. Terbayang sebuah kacamata dan alqur’an baru yang akan ia persembahkan untuk emak.

****

Jakarta Minggu pagi ini bergelayut mendung. Jalanan pun begitu  sepi. Hanya beberapa orang saja yang terlihat sedang jalan-jalan pagi menghirup aroma Jakarta.

Pagi ini Raka masih di dalam kamar mungilnya yang masih berantakan. Maklum, semua barang tumplek blek di kamarnya yang tak terlalu besar itu. Malah bisa dikatakan kamar itu terlalu sempit untuk Raka.

Dan ya, sedari tadi, bahkan kemarin, matanya selalu awas dengan sebuah benda yang kini tengah dinilainya sebagai benda paling  berharga dalam hidupnya. Celengan ayam. Betapa tidak, celengan itulah yang nantinya akan mengantarkannya pada senyum emak. Dan yups, celengan itu kini sudah penuh. Ah, emak pasti suka dengan kejutan ini.

Dan braaaak!! Celengan itu resmilah pecah. Dengan cekataan Ia menghitung lembaran dan recehan yang tergeletak berantakan di ubin kamarnya. Alhamdulillah, berkat kegigihannya, akhirnya Raka akan segera membelikan kacamata dan Al Qur’an baru yang ukurannya lebih besar untuk emak.

Ia pandangi wajah tirus emak yang tengah tertidur lelap. Ah emak, terimakasih emak sudah bersedia merawat Raka. Menjadi anakmu adalah hal yang terindah, meski hanya anak angkat semata, tak masalah. Ucap bathinnya lirih sembari menyeka bulir-bulir air mata yang menggenag di sudut matanya.

Hari ini juga, Raka akan pergi ke Optik Kencana untuk membeli kacamata. Dulu emak diperiksa di sini. Dan selanjutnya, Raka akan pergi ke toko buku’Cahaya’ untuk membeli Al Qur’an yang agak besaran untuk emak.

***

“Hai ka, gak ngamen kamu?” seru Nino dari seberang jalan.

“Tidak, hari ni libur dulu. Aku ada perlu!!” jawab Raka setengah teriak.

“Oke, hati-hati ya”

“Siip !!!” Raka mengacungkan jempolnya sambil berlalu.

Raka tersenyum, langkahnya begitu riang. Tak lama, Raka telah berkerumun dengan orang-orang dikeramaian kota.

Ah, ternyata tak sulit menemukan dua benda istimewa itu. Emak pasti sangat senang melihatnya. Tak sabar Raka untuk segera sampai di rumah.

Criiiiiit.... dan braaak!! Suara mobil mengerem mendadak disusul suara benda yang jatuh.
 
“Hai, kalau jalan hati-hati dong!!” teriak seorang pria dari dalam mobil. Pria tambun berkumis tipis waktu lalu.

Raka hanya menunduk, tak ada yang luka dari Raka. Hanya saja kacamata yang Ia pegang terjatuh. Dan ternyata kacamata tersebut pecah!!. Entah apa yang Ia rasakan, yang pasti remuk redamlah semua asanya. Sementara pria itu tak mempedulikannya. Ia justru melajukan mobilnya lagi tanpa sebuah ma’af sekalipun. Benarkah memang begitulah manusia?? Kemarin Ia sempat terpesona akan kebaikan orang tersebut yang telah memberi uang lebih atas suaranya. Tapi kini?? Ah... banyak misteri kota yang belum mampu ia pahami.

***

“Walahum maqaa mi u’ min hadiid,” Suara Raka masih terdengar nyaring dan masih diikuti dengan suara emak yang mulai parau.

Sekilas Raka memandang wajah emak yang mulai renta. Ah, emak ma’afkan Raka. Meski hanya alqur’an baru  yang bisa Raka beri untuk emak, tapi Raka akan tetap membantu emak untuk mengeja al qur’an.
Raka akan senantiasa setia menuntun emak. Selalu. Dan tentu, tak akan pernah bosan untuk menjadi guide kecil emak.

“Walibaasuhum fiiha khariir...” dan lagi suara Raka masih terdengar nyaring dan diikuti suara emak.(*)

-Ika-


Ket: Cerpen ini pernah masuk dalam cerjek Annida