Arsip karya anggota pramuda 16 FLP Jakarta.

Senin, 30 April 2012

ACROPHOBIA





                Aku takut. Bangunan ini tinggi sekali. Bagaimana kalau ada gempa? Bagaimana kalau lift-nya mati? Bagaimana kalau pintu darurat terkunci? Aku tidak mau ke atas. Menyontek catatan Todi saja. Biarlah sekali ini nilaiku jelek. Tak peduli. Lagipula, aku juga sudah hafal semua tentang Monas dari buku-buku yang ku baca di perpustakaan sekolah. Tak perlu ke atas lah.


            “Sip, semua udah kumpul. Kelompok tiga siap naik ke atas pak.” Ayu si ketua kelompok memberikan buku absen pada pak guru. Lalu sibuk mengatur barisan kami. Pak Guru pun memeriksa rombongan kelas empat lainnya. Badanku terdesak teman-teman yang tak sabar ingin cepat ke atas. Aku malah tak sabar ingin cepat pulang. Jangan sampai ada yang tahu kalau aku takut. Aku kan laki-laki. Masa' naik lift saja takut. Mungkin harus menyelinap keluar dari barisan ini. Pura-pura ke kamar mandi, lalu cepat-cepat keluar menuju parkiran. Tinggal menunggu di bis deh. Dengan begitu, aku bisa terbebas dari bahaya, tanpa harus khawatir tertinggal bis pulang. Ya. Ide bagus. Pastikan tak ada yang memperhatikan… Ya. Sekarang!
‘Ting’. Oh gawat. Lampu di lift menyala. Pintu terbuka. Badanku terdorong teman-teman lain yang berebut masuk ke lift. Pintu lift tertutup. Aku cuma bisa menelan ludah. Ayu menekan tombol pada dinding lift. Tiba-tiba aliran darah di kepala terasa turun semua. Lalu lemas seluruh badan. Tangan lepek dan dingin seperti baru keluar dari kulkas. Padahal sudah ku kepal rapat-rapat dalam saku celana. Kaki membeku. Aku benci perasaan ini. Sama sekali tak bisa dikendalikan. Malu sama Ayu yang perempuan, tapi lebih berani dan mandiri daripada aku. Aduh,  pandanganku  meredup. Jangan pingsan! Memalukan. Otomatis kucengkeram apapun yang ada di dekatku. Hap! ... Sialnya, ternyata perut gendut Todi.
            “Kenapa Ma?”
            “Hm? enggak… Pusing. Dikit.” pelan-pelan kulepaskan pegangan dari perut Todi. Melebarkan kaki dan menarik napas dalam-dalam. Kupaksakan mata melotot lebar-lebar. Semua jadi berwarna kuning.
            “Belum sarapan ya? Aku bawa roti nih…” Todi sibuk memeriksa isi tasnya. Suara berisik plastik dari dalam tas Todi membuat kepala semakin pening. Ia mengeluarkan bungkusan besar berisi roti dan kue-kue. Lalu menyodorkannya padaku. Terpaksa ku ambil satu roti untuk basa-basi. Lift belum berhenti juga. Kenapa lama sekali? Sepertinya oksigen di sini semakin sedikit. Aku tak mau mati lemas di sini! Mungkin aku harus memikirkan hal lain agar tetap sadar. Ayo berpikir. Pikirkan hal-hal yang menyenangkan. Mana bisa menghayal di kondisi seperti ini? Harus bisa! bagaimana? Aku lupa hal-hal apa yang bisa menyenangkan untuk dipikirkan saat ini. Lift ini sebenarnya bergerak tidak sih?!. Perutku mual.
‘Ting’. Akhirnya pintu terbuka juga. Tepat di saat aku hampir putus asa. Barulah aku bisa merasakan tiupan oksigen memasuki lift sempit ini. Dua kakiku pun ringan melangkah keluar lift. Meskipun tak berapa lama mereka mogok lagi. Oh, aku benci Monas!
            “Oke, sekarang semua boleh mencar. Terserah mau ke mana aja, yang penting nanti kita kumpul lagi disini setengah jam dari sekarang ya.” Ayu menjelaskan dengan penuh semangat. Sama semangatnya dengan semua orang di sini, kecuali aku.
            “Ma, Aku ikut Ayu ya. Jaga-jaga aja, takut Ayu kenapa-kenapa…” Todi tersenyum lebar, selebar bibir badut. Pipi-pipinya jadi lebih mirip balon tiup. Kedua alisnya naik-turun berkali-kali. Tak berhenti-henti. Menunggu anggukanku. Lalu berlari kerepotan mengejar Ayu. Semua orang tahu, Todi sudah lama menyukai Ayu. Tapi Todi tak pernah tahu, bahwa aku pun sering bermimpi terbang menyelamatkan ayu  dari serbuan kawanan penjahat. Keren! Di dalam mimpi aku tak pernah takut saat terbang setinggi apapun. Tidak seperti sekarang. Aku melemas lagi begitu ingat sedang berdiri tepat di atas puncak Monas. Puncak setinggi seratus lima belas meter, kalau memang benar total tinggi Monas adalah seratus tiga puluh dua meter dengan lidah api di atasku setinggi tujuh belas meter. Oh, lebih baik di suruh menyelesaikan seratus lima belas soal matematika daripada berdiri di sini. Tarik napas. Buat apa aku berdiri sendiri di depan lift seperti ini? Kaki masih saja susah bergerak. Apa aku turun saja? Masuk lift lagi? Bagaimana kalau tiba-tiba mati lampu? Bagaimana kalau talinya lift-nya putus? Apa lift ini setiap hari sudah diperiksa teknisi? Apa mereka sudah dapat memastikan kondisi lift ini masih bagus? Teknisinya juga manusia. Bisa saja lupa. Tapi lebih gawat lagi kalau aku masih di sini saat mati lampu. Aduh bagaimana ini? Kenapa mereka bisa begitu riang di tempat berbahaya seperti ini?

                                                                         ***

            “Kamu jadi laki-laki emang nggak berguna! Bisanya ngandelin uang pesangon aja. Mau sampai kapan kita begini terus? mana tanggung jawab kamu sebagai suami?!”
            “Udahlah May, capek aku berantem sama kamu.”
            “Mas, kita udah hampir tiga tahun menikah. Semenjak kamu di keluarin dari kantor, Sampe sekarang sekalipun aku nggak pernah ngerasain hidup enak! Tinggal di kandang kuda, mau ngapa-ngapain susah, ngumpulnya sama orang susah! Mau taro dimana mukaku kalo orang tuaku datang?! Mana janji kamu dulu yang mau ngebahagiain akuuu?! Aku capek! Bosen!”
            “Terserahlah. Kamu mau pergi silahkan..”
            “Oke! Berani kamu ngusir aku!”
            "Kan memang itu keinginan kamu. Bebas, nggak ada beban... ya kan?!"
            “Dasar cowok brengsek! Nggak berguna! mending lo mati aja sekalian!”
PLAK POK PAK POK
             “Maya… aduh…”
            “Bales kalo berani! biar semua penghuni rumah susun ini tau gimana bejatnya seorang Raka! tega ngebiarin istrinya hidup merana!”
PLAK POK PAK POK.
            “Maya… Maya stop May…”
             “Brengsek!!!”
PLAK POK PAK POK.
            “Maya! Aduh… “
            “AAAHHH!!!”
BRAAKK...
        “Hah?! …”
... ... ...
Papa...? Mama...?
Jauh, di bawah. Papa bobok.
Banyak orang.
... ... ...
            “Ya ALLAH, Rama… Sini sayang sama bude  nak. Jangan berdiri di situ sayang, bahaya...!”
             “Selamat siang. Kami dari kepolisian setempat. Ibu penghuni kamar ini?”
             “Bukan pak. Saya dari kamar sebelah. Saya yang telepon bapak tadi. Duh, kasian bener kamu nak..."
... ... ...
Papa kenapa?
Mama kemana?

                                                                        ***

            Banyak sekali orang di sini. Membuat nafasku semakin sesak. Kupaksakan kaki menjauhi keramaian. Dari terali-terali besi sekilas terlihat gedung-gedung mencuat. Aku berjanji akan mengumpulkan uang yang banyak untuk membuat rumah dan kantor sendiri. Yang bagus, besar, tapi tidak tinggi begitu. Tak akan ada tingkat sama sekali. Tak perlu tangga, apalagi lift. Padahal banyak sekali yang mau kutulis dari apa yang kulihat saat ini. Tapi tangan sudah dingin dan gemetar. Dengkul melemas. Dinginnya AC semakin membuat perasaan tidak enak.
Tiba-tiba dari arah kanan badanku tertabrak sesuatu. Bukan. Seseorang. Ia berlari memasuki… pintu darurat? Sayup-sayup terdengar teriakan orang-orang dari kejauhan. Ada apa? Oh, yang kutakutkan terjadi. Mulai kurasakan seisi ruangan mulai berputar. Di mana Ayu? Aku harus menyelamatkannya. Juga Todi. Tapi aku takut. Pusing. Aku harus keluar dari sini. Semoga Ayu, Todi, pak Guru dan semua teman juga bisa keluar dengan selamat. Sedikit lagi sampai. Badan semakin lemas. Aku harus bisa keluar. Pintu darurat ini berat sekali. Kudorong dengan sekuat tenaga. Lututku sudah lemas sekali. Oh, banyak sekali tangganya. Berputar-putar terus hingga jauh ke bawah seperti tak berujung. Kepalaku semakin pusing. Perut mual. Aku benci tangga. Aku benci lift. Aku benci tempat ini. Baru lima anak tangga kuturuni, goyangan semakin menjadi. Seperti berada di atas perahu kecil saat badai di tengah laut. Kenapa tangga darurat ini remang sekali cahayanya? Aku tak bisa melihat apa-apa. Pusing luar biasa. Semua makanan yang kumakan tadi pagi keluar mengotori tangga. Ah! sepertinya aku terpeleset muntahan sendiri. Berguling-guling. Lalu gelap.
... ... ...
Papa...
Aku kangen papa.

                                                                         ***
            Dingin. Bau menyengat. Harum. Wanginya kuhafal sekali. Seperti yang tiap hari kutemui. Wangi parfum yang selalu dipakai Ayu. Coba buka mata. Benar. Dua mata bulat melotot cemas ke arahku, dekat sekali. Tangannya menyogok hidungku dengan sebotol parfum.
            “Rama, kamu udah sadar.  Kamu kenapa tadi? Semua orang nyariin kamu. Todi juga. Tadi dia di sini aja nungguin kamu, tapi akhirnya nggak tahan juga sama laparnya. Dasar Todi… Kamu nggak apa-apa kan?” Ayu mengoceh panjang sekali. Ini jelas bukan mimpi.
Di mana ini? Aku kenapa memangnya? Di belakang Ayu, ada Monas berdiri setinggi langit berwarna oranye. Ayu memanggil Pak Guru.
            “Rama. Alhamdulillah kamu udah sadar. Bapak takut kamu kenapa-kenapa.
Makan dulu ya. Sebentar lagi kita pulang. Yang lain sudah menunggu di Bis.”
Aku ingat sekarang. Tadi ada gempa. Kami di puncak Monas, lalu ada gempa!
            “Yu..."
            “Ya?”
            "Gempa..."
            "Ha?!"
            “Gempa… Tadi ada gempa kan?”
            “Kapan? Aku malah bingung, kok kamu bisa pingsan di tangga darurat?”
            “Tadi… aku liat ada orang lari-lari trus masuk ke tangga darurat.”
             “Oh! Dia copetnya tuh! Ya kan pak?”
            “Hmm... Iya mungkin. Tapi nanti saja ceritanya, biar Rama makan dulu. Kita harus cepat ke bis. Sudah harus pulang."
            Ternyata cuma aku. Ternyata cuma kepalaku yang berputar. Untung cuma aku. Sehabis makan kami langsung ke bis. Teman-teman lain langsung ribut menanyakan kejadian yang menimpaku tadi. Ayu sibuk menceritakan pengalamannya selama berada di bangunan super tinggi itu. Termasuk peristiwa pencopetan tadi. Aku tak akan pernah mau ke sini lagi. Tidak akan!
             “...Tadi padahal seru banget lho di atas, Ma. Kapan-kapan ke Monas lagi yuk!”
... ... ...


Diel
(Photo was taken from: http://soulofnovember.deviantart.com/art/Acrophobia-195589398)

3 komentar:

Lya

keren Mbak! menurutku alurnya cepet, tapi bikin gabisa berhenti bacanya. mungkin malah sampe ga bisa kedip! hehe. setiap barisnya bikin deg-degan, takut Rama kenapa-kenapa, apalagi setelah diceritakan asal muasal rasa takutnya itu. kaget banget setelah plak pok ga taunya bapaknya Rama udah di bawah. pokoknya kereeen! ayo posting lagi Mbak, cerpen Mbak yang lain :)

esdungdung

menikmati mba diella, yeah somehow gue bingung harus ngomong apa. gue kira monasnya mau dibuat hancur sama gempa sekalian, wkwkwk...

Bubu Diel

makasih lya dan esdungdung buat penyemangatnya... hehehe... gantian dong, aku juga mau menikmati cerpen-cerpen kalian yang bikin gak bisa kedip. :D

Bagaimana pendapat Anda...