Arsip karya anggota pramuda 16 FLP Jakarta.

Sabtu, 05 Mei 2012

Katastrofa Cinta





         Novel ini keren sekali! entah karena saya yang referensi bacaannya masih teramat sedikit? atau karena antara saya dan penulis lahir di tahun yang hampir seangkatan, jadi seleranya sama? Atau memang novel ini bagus? Terserahlah. Tapi yang jelas, saya sangat menikmati kisah cinta karya Afifah Afra ini. Sayangnya besok novel ini harus dipulangkan ke pemiliknya. (Makasih ya Haya…) Rasanya masih ingin membaca ulang (padahal sudah pinjam selama empat minggu! hehe...).
Ini kali pertama saya coba membuat review buku. Jadi harap maklum kalau tulisannya secara garis besar hanya berisi perasaan saya terhadap novel ini. (Lagi males mikir. Hehehe..)

        Dengan sejujur-jujurnya saya katakan, saya senang dengan cara Afifah mendeskripsikan kondisi Indonesia. Sarkas, namun menggelitik. Kalimat-kalimatnya pun begitu puitis dan banyak perumpamaan-perumpamaan yang kadang tak terpikirkan. Seperti dalam penggalan kalimat:
‘Akupun menggigil.
Kumparan malam telah menyihirku dalam kebekuan.
Bahkan panas matahari yang mencengkeram segenap persada, seakan tak mampu mencairkan salju yang melingkupi hatiku, jiwaku.
Puncak Mount Everest seakan telah berpindah memayungiku.
Menjadi salju abadi yang membuat gigil yang tercipta abadi.’

Meski memang banyak kalimat yang terlalu panjang, tapi model-model tulisan seperti inilah selera saya. Namun sayang, kelihatannya minat pasar hari ini sudah berubah. Semua menginginkan sesuatu yang cepat. Singkat, padat, jelas. Tak perlu mendayu-dayu, merayu-rayu, apalagi berumpama segala.

            Biar bagaimanapun, penulis telah berhasil membuat saya hafal nama semua karakter –setidaknya nama panggilannya- yang biasanya selalu menjadi kesulitan saya ketika membaca novel. Padahal tokoh-tokoh dalam kisah ini lumayan banyak lho.
Alur cerita yang maju-mundur cukup membingungkan saya pada awalnya. Tapi lama-kelamaan saya malah menikmatinya. Seakan sedang menonton dua film sekaligus dalam satu gedung teater.

             Novel ini menceritakan kisah dua gadis sekaligus yang hidup di beda zaman.
Astuti, gadis ningrat yang lahir di era transisi saat penjajahan Belanda beralih ke tangan Jepang. Ia telah dipaksa dewasa oleh kerasnya hidup yang ia alami.
Dan Mei-Hwa, atau Cempaka adalah gadis pintar keturunan cina-jawa-minahasa yang harus rela kehilangan semua yang ia miliki akibat ulah para penjarah tak bertanggung-jawab pada kerusuhan mei 1998.
Saya cukup terhibur dengan narasi Cempaka yang sering membawa-bawa istilah kedokteran ke dalam ungkapan jiwanya.
‘Aku adalah zat karsinogen yang siap menebarkan bibit-bibit kanker pada induk semang yang kuhinggapi.’
            Ada banyak sekali kata-kata baru (bagi saya, penulis baru) yang saya temui dalam novel ini.  Dan ujung cerita yang merupakan benang merah terangkum dengan indah dan ironis. Membuat cerita ini menjadi kuat. Seakan penulis ingin mengatakan “inilah alasannya mengapa saya harus repot-repot membawa kalian bolak-balik melintasi zaman”. Luar biasa. Saya juga seakan melihat bagaimana hukum karma bekerja di cerita ini. Betapa "apa yang kita kerjakan hari ini, jelas berpengaruh untuk anak-cucu kita di hari nanti". Entah ini merupakan pesan yang juga ingin di sampaikan penulis atau makna yang hanya saya simpulkan sendiri.
            Hanya ada satu pertanyaan membatin. “Mengapa ibunda Firdaus tiba-tiba begitu ingin menikahkan anaknya dengan Cempaka? sampai rela mengucapkannya sendiri di telinga Cempaka? Padahal Cempaka adalah gadis cina beragama nasrani yang sudah tak perawan dan sempat gila. Di mana poin plus Cempaka hingga membuat ibu Firdaus begitu yakin dengan pilihan anaknya? Lalu, apakah ayah Firdaus yang ternyata pernah mengenal kakek Cempaka di masa lalunya tidak curiga begitu melihat kehadiran mereka? padahal kakek Cempaka itu pernah menggores sedikit kelam di masa lalunya. Mengapa mereka mau menikahkan anak mereka dengan gadis itu?”
Namun pertanyaan kekecewaan itu telah terbayar dengan ide manusia separo. Oh, saya teramat menyukai ide itu. Membuat penasaran ini tak ada habisnya. Dua jempol untuk penulis.
Kalau satu saat penulis itu mendatangi mimpi dan meminta opini, akan saya katakan “Kalau boleh, novel ini akan saya beri judul Manusia Separo Kayu.”

            Saya tidak malu meski baru sekarang mendapat kesempatan membaca buku ini. Justru saya bangga karena dapat membuktikan sendiri satu lagi hasil karya jebolan FLP yang layak di angkat ini. (Tampaknya saya memang harus punya juga buku ini.)
Saya juga tidak mau terlalu banyak menceritakan kisahnya di sini. Karena teramat sayang untuk dibeberkan. Jadi buat teman-teman yang belum membacanya, terutama yang sedang belajar menulis…
This book is highly recommended.

Diel


7 komentar:

Haya Nufus

Wah udah direview, sepertinya besok aku nggak bisa datang mbak. Jadi bukunya biar sama mbak Dila dulu ya... buku yang sama aku juga belum bisa balikin dong :(

Lya

uwaaaa jadi pengen bacaaaa...!

ika

Aku juga udah bikin review-nya mbak Diella

http://rosikaazahra.blogspot.com/2012/03/dua-zaman-yang-memilukan-review-buku.html

iya, buku ini benar-benar keren, aku suka gaya bahasanya :)

Bubu Diel

Haya: bukunya dipinjem Riska. boleh yaa... dan Lya antiran selanjutnya kya'nya... hihihi...

Ika: mancaaaap. like this lah kalo kata pesbuk mah :D

Lya

Mba Haya, aku mau pinjem yaaa tapi nanti bulan Juni, soalnya Mei akhir masih UAS, takutnya tergoda buat baca hehehe

Haya Nufus

Boleh..boleh... :)

Anonim

wah, di rak saya masih nganggur ajah.. padahal dapetnya hampir setahun kemareen.

nuhuun reviewnya, jd bikin penasaran ^^

Bagaimana pendapat Anda...