Novel
ini keren sekali! entah karena saya yang referensi bacaannya masih teramat sedikit? atau
karena antara saya dan penulis lahir di tahun yang hampir seangkatan, jadi
seleranya sama? Atau memang novel ini bagus? Terserahlah. Tapi yang jelas, saya
sangat menikmati kisah cinta karya Afifah Afra ini. Sayangnya besok novel
ini harus dipulangkan ke pemiliknya. (Makasih ya Haya…) Rasanya masih ingin
membaca ulang (padahal sudah pinjam selama empat minggu! hehe...).
Ini kali pertama
saya coba membuat review buku. Jadi harap maklum kalau tulisannya secara garis
besar hanya berisi perasaan saya terhadap novel ini. (Lagi males mikir.
Hehehe..)
Dengan sejujur-jujurnya saya katakan, saya senang dengan
cara Afifah mendeskripsikan kondisi Indonesia. Sarkas, namun menggelitik.
Kalimat-kalimatnya pun begitu puitis dan banyak perumpamaan-perumpamaan yang
kadang tak terpikirkan. Seperti dalam penggalan kalimat:
‘Akupun menggigil.
Kumparan malam telah menyihirku dalam kebekuan.
Bahkan panas matahari yang mencengkeram segenap persada, seakan tak
mampu mencairkan salju yang melingkupi hatiku, jiwaku.
Puncak Mount Everest seakan telah berpindah memayungiku.
Menjadi salju abadi yang membuat gigil yang tercipta abadi.’
Meski memang banyak kalimat yang terlalu panjang, tapi model-model tulisan seperti inilah selera saya. Namun sayang, kelihatannya
minat pasar hari ini sudah berubah. Semua menginginkan sesuatu yang cepat.
Singkat, padat, jelas. Tak perlu mendayu-dayu, merayu-rayu, apalagi berumpama
segala.
Biar bagaimanapun, penulis telah berhasil membuat saya hafal nama semua karakter –setidaknya nama panggilannya-
yang biasanya selalu menjadi kesulitan saya ketika membaca novel. Padahal
tokoh-tokoh dalam kisah ini lumayan banyak lho.
Alur cerita yang
maju-mundur cukup membingungkan saya pada awalnya. Tapi lama-kelamaan
saya malah menikmatinya. Seakan sedang menonton dua film sekaligus dalam satu
gedung teater.
Novel ini menceritakan
kisah dua gadis sekaligus yang hidup di beda zaman.
Astuti, gadis
ningrat yang lahir di era transisi saat penjajahan Belanda beralih ke tangan
Jepang. Ia telah dipaksa dewasa oleh kerasnya hidup yang ia alami.
Dan Mei-Hwa, atau
Cempaka adalah gadis pintar keturunan cina-jawa-minahasa yang harus rela
kehilangan semua yang ia miliki akibat ulah para penjarah tak bertanggung-jawab
pada kerusuhan mei 1998.
Saya cukup terhibur dengan narasi Cempaka
yang sering membawa-bawa istilah kedokteran ke dalam ungkapan jiwanya.
‘Aku adalah zat
karsinogen yang siap menebarkan bibit-bibit kanker pada induk semang yang
kuhinggapi.’
Ada
banyak sekali kata-kata baru (bagi saya, penulis baru) yang saya temui dalam
novel ini. Dan ujung cerita yang
merupakan benang merah terangkum dengan indah dan ironis. Membuat cerita ini
menjadi kuat. Seakan penulis ingin mengatakan “inilah alasannya mengapa saya
harus repot-repot membawa kalian bolak-balik melintasi zaman”. Luar biasa. Saya juga seakan melihat bagaimana hukum karma bekerja di cerita ini. Betapa "apa yang kita kerjakan hari ini, jelas berpengaruh untuk anak-cucu kita di hari nanti". Entah ini merupakan pesan yang juga ingin di sampaikan penulis atau makna yang hanya saya simpulkan sendiri.
Hanya
ada satu pertanyaan membatin. “Mengapa ibunda Firdaus tiba-tiba begitu ingin
menikahkan anaknya dengan Cempaka? sampai rela mengucapkannya sendiri di
telinga Cempaka? Padahal Cempaka adalah gadis cina beragama nasrani yang sudah
tak perawan dan sempat gila. Di mana poin plus Cempaka hingga membuat ibu
Firdaus begitu yakin dengan pilihan anaknya? Lalu, apakah ayah Firdaus yang
ternyata pernah mengenal kakek Cempaka di masa lalunya tidak curiga begitu
melihat kehadiran mereka? padahal kakek Cempaka itu pernah menggores sedikit kelam di masa lalunya. Mengapa mereka mau menikahkan anak mereka dengan gadis
itu?”
Namun pertanyaan
kekecewaan itu telah terbayar dengan ide manusia separo. Oh, saya teramat
menyukai ide itu. Membuat penasaran ini tak ada habisnya. Dua jempol untuk
penulis.
Kalau satu saat penulis itu mendatangi mimpi dan meminta opini,
akan saya katakan “Kalau boleh, novel ini akan saya beri judul Manusia Separo
Kayu.”
Saya
tidak malu meski baru sekarang mendapat kesempatan membaca buku ini. Justru
saya bangga karena dapat membuktikan sendiri satu lagi hasil karya jebolan FLP
yang layak di angkat ini. (Tampaknya saya memang harus punya juga buku ini.)
Saya juga tidak
mau terlalu banyak menceritakan kisahnya di sini. Karena teramat sayang untuk dibeberkan.
Jadi buat teman-teman yang belum membacanya, terutama yang sedang belajar
menulis…
This book is highly recommended.
Diel
7 komentar:
Wah udah direview, sepertinya besok aku nggak bisa datang mbak. Jadi bukunya biar sama mbak Dila dulu ya... buku yang sama aku juga belum bisa balikin dong :(
uwaaaa jadi pengen bacaaaa...!
Aku juga udah bikin review-nya mbak Diella
http://rosikaazahra.blogspot.com/2012/03/dua-zaman-yang-memilukan-review-buku.html
iya, buku ini benar-benar keren, aku suka gaya bahasanya :)
Haya: bukunya dipinjem Riska. boleh yaa... dan Lya antiran selanjutnya kya'nya... hihihi...
Ika: mancaaaap. like this lah kalo kata pesbuk mah :D
Mba Haya, aku mau pinjem yaaa tapi nanti bulan Juni, soalnya Mei akhir masih UAS, takutnya tergoda buat baca hehehe
Boleh..boleh... :)
wah, di rak saya masih nganggur ajah.. padahal dapetnya hampir setahun kemareen.
nuhuun reviewnya, jd bikin penasaran ^^
Bagaimana pendapat Anda...