Arsip karya anggota pramuda 16 FLP Jakarta.

Selasa, 15 Mei 2012

Mata Pelangi



i
Selalu, dua jiwa bercuap pelangi tatkala habislah rintik
Bahwa pelangi, mengucap secercah binar lengkung
Itulah kau
Dengan mata yang berbinar merekah pelangi
Katamu, “mewarni selalu indah”
Tapi yang kurasa kini hanyalah sepi

ii
Dalam senja yang mengeja cericit pipit dalam rintik gerimis
Matanya mengalun wicara
Mengerling tujuh warna pelangi
Katanya, “mewarni selalu indah”
Aku bisu. Terpaku teringat kau

iii
Kelam, mungkin memang kelam
Satu sisi dalam sama merah darah
Menyisa sepi
Tapi kemudian aku tau
Bahwa, “mewarni akan selalu indah”
Itu kau dan kini adalah dia.
Yang  sama
Tapi tak serupa
: mata pelangi

Jakarta, 12 Mei 2012
-Rosika Azahra-

Minggu, 13 Mei 2012

Malam ini aku dan anakku keliling dunia.


Image from aqisthiaf.blogspot.com



Malam ini aku dan anakku  keliling dunia. Dari rumah kami di  Jakarta Timur, terlebih dahulu aku mengajaknya melihat kepulauan nusantara: sumatra, jawa, kalimantan, sulawesi dan Irian. Meski dipisahkan oleh laut pulau-pulau ini adalah satu kesatuan Indonesia. Anakku bertanya dimana rumah neneknya. Aku menunjuk sebuah titik di ujung pulau Sumatra. Aceh. Kukatakan padanya “Aceh adalah nanggroemu, kemanapun kamu

Minggu, 06 Mei 2012

Kacamata untuk Emak



“Wa annallaaha yahdii man yuriid...,” suara Raka nyaring diikuti suara emak yang terbata-bata membaca ayat ke-16 surat Al-Hajj. Tanpa dikomando, Raka kemudian mengurangi kecepatan bacaanya, mengimbangi bacaan emak.

Emak sangat rajin mengaji. Ba’da magrib, Isya, Subuh, rutinitas itu selalu beliau kerjakan tanpa alpa. Tapi sayang sudah satu bulan ini ada yang mulai dirasakannya. Beliau kadang mengeluh bahwa tulisan-tulisan di Alqur’an sudah agak samar di matanya. Mungkin inilah yang dinamakan penyakit sepuh. Penyakit yang sering hinggap pada seseorang yang tengah menginjak usia lanjut. Dan ternyata benar, setelah diperiksa ada masalah dengan mata emak. Emak sudah mulai terserang presbiopi.  Beliau harus membeli kacamata. Tapi apadaya, emak tak punya uang untuk membelinya.

Beberapa kali emak terlihat menangis. Bacaan yang biasanya lancar, kini malah amburadul tak karuan.  Raka tak kuasa melihatnya. Maka setelah itu, Raka menuntun emak membaca Al qur’an. Untunglah Raka selalu belajar mengaji di masjid gang sebelah. Jadi, Ia pandai untuk membimbing emak.

“Shadakallahul adziim,” Raka mengakhiri bacaannya, tentu dengan masih diikuti suara emak.

“Emak habis ini istirahat aja dulu, pasti emak cepek seharian tadi bantu-bantu di rumah pak Haji Idris,” saran Raka sembari membenahi Al Qur’an.

“Iya lek, hari ini emak capek sekali. Tapi nanti mau nunggu shalat isya dulu ya, uhuk... uhuk...”

Raka mengangguk. Dalam hati kecilnya ada rasa  perih melihat emak yang sudah mulai sakit-sakitan. Beliau memang bukan Ibu kandung Raka, tapi kasih sayang yang diberikan emak kepada Raka sungguh membuat Raka menyayangi emak lebih dari siapapun.

Ketika itu Raka masih berumur 8 tahun. Dari kecil Raka tinggal disebuah panti asuhan. Untuk Ibu dan ayah kandungnya, Raka sendiri tak tahu bagaimana rupa mereka. Dalam umurnya yang masih terbilang amat belia itu, Raka  pergi meninggalkan panti. Untuk alasannya sendiri, Raka belum tahu persis apa yang benar-benar mendorongnya untuk melakukan hal senekat itu. Ia selalu takjub melihat kehidupan jalanan. Maka, meski masih belia Ia akan kuat memegang dan memperjuangkan apa yang diinginkannya itu.

Jadilah Ia menjadi anak jalanan, makan entah dari mana saja. Kadang menjadi kuli pasar, kadang menjadi tukang cuci piring, kadang juga menjadi pengamen. Yang pasti satu tekadnya, dalam keadaan apapun ia tak akan menjadi pengemis atau pencuri. Lebih baik menjadi tukang sapu daripada mengemis. Begitulah tekad Raka cilik..

Hingga akhirnya bertemulah Raka dengan emak. Waktu itu  Raka tengah  memegangi perutnya yang kesakitan. Dua hari ia tak makan. Emak yang baik, lalu mengajaknya ke gubuk sederhananya. Keadaan emak tak jauh berbeda dengan Raka. Emak pun bekerja serabutan. Kadang mencuci baju di tetangga, kadang mencari bekas-bekas botol aqua atau apa saja. Ternyata emak tinggal sendiri, ketika Raka menanyakan di mana keluarga yang lainnya, emak hanya menunduk , ada bulir-bulir air mata yang terjatuh ke pipinya. Raka pun tak berani menanyakan hal tersebut lagi pada emak. Dan emak yang memang hidup sendiri meminta Raka untuk tinggal bersama di rumahnya. Tadinya Raka ragu, tapi melihat emak yang memang benar-benar sendiri, Raka pun tak tega untuk menolaknya. Toh, selama ini juga dia tak punya tempat tinggal.

Ternyata emak sangat baik. Selalu menyiapkan sarapan. Selalu menyuruh Raka untuk mengikuti sekolah alam sejenak yang diadakan oleh salah satu LSM dalam rangka pembinaan anak-anak jalanan. Selalu mengingatkan Raka untuk shalat lima waktu dan tak lupa pula selalu meminta Raka untuk ikut belajar mengaji di mushala gang tetangga.

Ah emak begitu baiknya dirimu, bathin Raka dalam hati. Pandanganya tak lepas dari emak yang menerawang ke luar rumah. Entah apa yang sedang dipikirkan wanita baya itu.

***

Crek crek...Raka menggoyang-goyangkan celengan ayamnya untuk melihat sudah seberapa banyakkah tabungan miliknya. Ah, nampaknya  sedikit lagi. Raka tersenyum ceria. Raka benar-benar tak sabar agar celengan itu benar-benar  penuh.  Raka ingin membelikan kacamata untuk emak. Ia ingin melihat emak lancar membaca Al Qur’an.. Bukan, bukan karena Raka telah lelah menemani emak membaca Al Qur’an. Tapi justru karena Raka ingin melihat  senyum emak saat membacanya. Emak selau rajin membaca dan mentadaburi Al Qur’an. Lagi pula Raka ingin membelikan Al Qur’an baru untuk emak. Al Qur’an yang sekarang sudah kusam ditambah lagi banyak yang sobek halaman-halamannnya. Maka dari itulah Raka rela mengamen untuk menambah uang penghasilan demi memberi hadiah istimewa buat emak.

“Lampu merah, ka!!” teriak Nino si gendut pada Raka. Sementara Raka terhenyak dari lamunannya mendengar suara Nino.Segera, kedua bocah itu langsung berpencar mendekati pintu kaca mobil yang berhenti di stoppan lampu merah. Raka menuju mobil xenia silver sementara Nino menuju Daihatsu yang ada di belakangnya. Tangan Raka  lihai memtik senar gitar yang telah usang itu.

“ Bertahan satu cinta, bertahan satu C.I.N.T.A ....,” alunan lagu D’Bagindaz terdengar merdu dari mulut Raka. Raka terus saja menyanyi sampai orang tambun berkumis tipis yang duduk di dalamnya membuka kaca mobil lalu melemparkan selembar uang kertas bergambar Sultan Mahmud Badaruddin II  pada kantong permen milik Raka.

Raka tertegun tak percaya memandangi lembaran itu, termasuk jumlah yang cukup lumayan untuk ukuran pengamen jalanan seperti Raka. Jarang sekali orang-orang yang memberi uang segitu. Paling dari mereka tak jauh dari seribu atau bahkan ada saja yang memberi uang receh dua ratus rupiah.

Baru saja ia mau mengucapkan terimakasih, Sang pemilik mobil langsung menutup pintu kacanya. Hmmm, Raka mendengus tapi kemudian tersenyum kecil. Tak apa, yang pasti pemilik mobil itu masih mau membagikan sedikit rezeki untuknya. Dan ya, meski sekilas pemilik mobil itu terlihat menyeramkan, tapi dia berhati baik juga. Pikir Raka dalam hati. Ah, rezeki... syukuri saja. Lanjut ocehan bathinnya.

Raka melangkahkan kakinya ke mobil-mobil yang lain dengan penuh semangat. Terbayang sebuah kacamata dan alqur’an baru yang akan ia persembahkan untuk emak.

****

Jakarta Minggu pagi ini bergelayut mendung. Jalanan pun begitu  sepi. Hanya beberapa orang saja yang terlihat sedang jalan-jalan pagi menghirup aroma Jakarta.

Pagi ini Raka masih di dalam kamar mungilnya yang masih berantakan. Maklum, semua barang tumplek blek di kamarnya yang tak terlalu besar itu. Malah bisa dikatakan kamar itu terlalu sempit untuk Raka.

Dan ya, sedari tadi, bahkan kemarin, matanya selalu awas dengan sebuah benda yang kini tengah dinilainya sebagai benda paling  berharga dalam hidupnya. Celengan ayam. Betapa tidak, celengan itulah yang nantinya akan mengantarkannya pada senyum emak. Dan yups, celengan itu kini sudah penuh. Ah, emak pasti suka dengan kejutan ini.

Dan braaaak!! Celengan itu resmilah pecah. Dengan cekataan Ia menghitung lembaran dan recehan yang tergeletak berantakan di ubin kamarnya. Alhamdulillah, berkat kegigihannya, akhirnya Raka akan segera membelikan kacamata dan Al Qur’an baru yang ukurannya lebih besar untuk emak.

Ia pandangi wajah tirus emak yang tengah tertidur lelap. Ah emak, terimakasih emak sudah bersedia merawat Raka. Menjadi anakmu adalah hal yang terindah, meski hanya anak angkat semata, tak masalah. Ucap bathinnya lirih sembari menyeka bulir-bulir air mata yang menggenag di sudut matanya.

Hari ini juga, Raka akan pergi ke Optik Kencana untuk membeli kacamata. Dulu emak diperiksa di sini. Dan selanjutnya, Raka akan pergi ke toko buku’Cahaya’ untuk membeli Al Qur’an yang agak besaran untuk emak.

***

“Hai ka, gak ngamen kamu?” seru Nino dari seberang jalan.

“Tidak, hari ni libur dulu. Aku ada perlu!!” jawab Raka setengah teriak.

“Oke, hati-hati ya”

“Siip !!!” Raka mengacungkan jempolnya sambil berlalu.

Raka tersenyum, langkahnya begitu riang. Tak lama, Raka telah berkerumun dengan orang-orang dikeramaian kota.

Ah, ternyata tak sulit menemukan dua benda istimewa itu. Emak pasti sangat senang melihatnya. Tak sabar Raka untuk segera sampai di rumah.

Criiiiiit.... dan braaak!! Suara mobil mengerem mendadak disusul suara benda yang jatuh.
 
“Hai, kalau jalan hati-hati dong!!” teriak seorang pria dari dalam mobil. Pria tambun berkumis tipis waktu lalu.

Raka hanya menunduk, tak ada yang luka dari Raka. Hanya saja kacamata yang Ia pegang terjatuh. Dan ternyata kacamata tersebut pecah!!. Entah apa yang Ia rasakan, yang pasti remuk redamlah semua asanya. Sementara pria itu tak mempedulikannya. Ia justru melajukan mobilnya lagi tanpa sebuah ma’af sekalipun. Benarkah memang begitulah manusia?? Kemarin Ia sempat terpesona akan kebaikan orang tersebut yang telah memberi uang lebih atas suaranya. Tapi kini?? Ah... banyak misteri kota yang belum mampu ia pahami.

***

“Walahum maqaa mi u’ min hadiid,” Suara Raka masih terdengar nyaring dan masih diikuti dengan suara emak yang mulai parau.

Sekilas Raka memandang wajah emak yang mulai renta. Ah, emak ma’afkan Raka. Meski hanya alqur’an baru  yang bisa Raka beri untuk emak, tapi Raka akan tetap membantu emak untuk mengeja al qur’an.
Raka akan senantiasa setia menuntun emak. Selalu. Dan tentu, tak akan pernah bosan untuk menjadi guide kecil emak.

“Walibaasuhum fiiha khariir...” dan lagi suara Raka masih terdengar nyaring dan diikuti suara emak.(*)

-Ika-


Ket: Cerpen ini pernah masuk dalam cerjek Annida 

Sabtu, 05 Mei 2012

Katastrofa Cinta





         Novel ini keren sekali! entah karena saya yang referensi bacaannya masih teramat sedikit? atau karena antara saya dan penulis lahir di tahun yang hampir seangkatan, jadi seleranya sama? Atau memang novel ini bagus? Terserahlah. Tapi yang jelas, saya sangat menikmati kisah cinta karya Afifah Afra ini. Sayangnya besok novel ini harus dipulangkan ke pemiliknya. (Makasih ya Haya…) Rasanya masih ingin membaca ulang (padahal sudah pinjam selama empat minggu! hehe...).
Ini kali pertama saya coba membuat review buku. Jadi harap maklum kalau tulisannya secara garis besar hanya berisi perasaan saya terhadap novel ini. (Lagi males mikir. Hehehe..)

        Dengan sejujur-jujurnya saya katakan, saya senang dengan cara Afifah mendeskripsikan kondisi Indonesia. Sarkas, namun menggelitik. Kalimat-kalimatnya pun begitu puitis dan banyak perumpamaan-perumpamaan yang kadang tak terpikirkan. Seperti dalam penggalan kalimat:
‘Akupun menggigil.
Kumparan malam telah menyihirku dalam kebekuan.
Bahkan panas matahari yang mencengkeram segenap persada, seakan tak mampu mencairkan salju yang melingkupi hatiku, jiwaku.
Puncak Mount Everest seakan telah berpindah memayungiku.
Menjadi salju abadi yang membuat gigil yang tercipta abadi.’

Meski memang banyak kalimat yang terlalu panjang, tapi model-model tulisan seperti inilah selera saya. Namun sayang, kelihatannya minat pasar hari ini sudah berubah. Semua menginginkan sesuatu yang cepat. Singkat, padat, jelas. Tak perlu mendayu-dayu, merayu-rayu, apalagi berumpama segala.

            Biar bagaimanapun, penulis telah berhasil membuat saya hafal nama semua karakter –setidaknya nama panggilannya- yang biasanya selalu menjadi kesulitan saya ketika membaca novel. Padahal tokoh-tokoh dalam kisah ini lumayan banyak lho.
Alur cerita yang maju-mundur cukup membingungkan saya pada awalnya. Tapi lama-kelamaan saya malah menikmatinya. Seakan sedang menonton dua film sekaligus dalam satu gedung teater.

             Novel ini menceritakan kisah dua gadis sekaligus yang hidup di beda zaman.
Astuti, gadis ningrat yang lahir di era transisi saat penjajahan Belanda beralih ke tangan Jepang. Ia telah dipaksa dewasa oleh kerasnya hidup yang ia alami.
Dan Mei-Hwa, atau Cempaka adalah gadis pintar keturunan cina-jawa-minahasa yang harus rela kehilangan semua yang ia miliki akibat ulah para penjarah tak bertanggung-jawab pada kerusuhan mei 1998.
Saya cukup terhibur dengan narasi Cempaka yang sering membawa-bawa istilah kedokteran ke dalam ungkapan jiwanya.
‘Aku adalah zat karsinogen yang siap menebarkan bibit-bibit kanker pada induk semang yang kuhinggapi.’
            Ada banyak sekali kata-kata baru (bagi saya, penulis baru) yang saya temui dalam novel ini.  Dan ujung cerita yang merupakan benang merah terangkum dengan indah dan ironis. Membuat cerita ini menjadi kuat. Seakan penulis ingin mengatakan “inilah alasannya mengapa saya harus repot-repot membawa kalian bolak-balik melintasi zaman”. Luar biasa. Saya juga seakan melihat bagaimana hukum karma bekerja di cerita ini. Betapa "apa yang kita kerjakan hari ini, jelas berpengaruh untuk anak-cucu kita di hari nanti". Entah ini merupakan pesan yang juga ingin di sampaikan penulis atau makna yang hanya saya simpulkan sendiri.
            Hanya ada satu pertanyaan membatin. “Mengapa ibunda Firdaus tiba-tiba begitu ingin menikahkan anaknya dengan Cempaka? sampai rela mengucapkannya sendiri di telinga Cempaka? Padahal Cempaka adalah gadis cina beragama nasrani yang sudah tak perawan dan sempat gila. Di mana poin plus Cempaka hingga membuat ibu Firdaus begitu yakin dengan pilihan anaknya? Lalu, apakah ayah Firdaus yang ternyata pernah mengenal kakek Cempaka di masa lalunya tidak curiga begitu melihat kehadiran mereka? padahal kakek Cempaka itu pernah menggores sedikit kelam di masa lalunya. Mengapa mereka mau menikahkan anak mereka dengan gadis itu?”
Namun pertanyaan kekecewaan itu telah terbayar dengan ide manusia separo. Oh, saya teramat menyukai ide itu. Membuat penasaran ini tak ada habisnya. Dua jempol untuk penulis.
Kalau satu saat penulis itu mendatangi mimpi dan meminta opini, akan saya katakan “Kalau boleh, novel ini akan saya beri judul Manusia Separo Kayu.”

            Saya tidak malu meski baru sekarang mendapat kesempatan membaca buku ini. Justru saya bangga karena dapat membuktikan sendiri satu lagi hasil karya jebolan FLP yang layak di angkat ini. (Tampaknya saya memang harus punya juga buku ini.)
Saya juga tidak mau terlalu banyak menceritakan kisahnya di sini. Karena teramat sayang untuk dibeberkan. Jadi buat teman-teman yang belum membacanya, terutama yang sedang belajar menulis…
This book is highly recommended.

Diel