“Wa
annallaaha yahdii man yuriid...,” suara Raka nyaring diikuti suara emak yang
terbata-bata membaca ayat ke-16 surat Al-Hajj. Tanpa dikomando, Raka kemudian
mengurangi kecepatan bacaanya, mengimbangi bacaan emak.
Emak sangat rajin mengaji. Ba’da magrib, Isya,
Subuh, rutinitas itu selalu beliau kerjakan tanpa alpa. Tapi sayang sudah satu
bulan ini ada yang mulai dirasakannya. Beliau kadang mengeluh bahwa
tulisan-tulisan di Alqur’an sudah agak samar di matanya. Mungkin inilah yang
dinamakan penyakit sepuh. Penyakit yang sering hinggap pada seseorang yang
tengah menginjak usia lanjut. Dan ternyata benar, setelah diperiksa ada masalah
dengan mata emak. Emak sudah mulai terserang presbiopi. Beliau harus membeli kacamata. Tapi apadaya,
emak tak punya uang untuk membelinya.
Beberapa kali emak terlihat menangis. Bacaan
yang biasanya lancar, kini malah amburadul tak karuan. Raka tak kuasa melihatnya. Maka setelah itu,
Raka menuntun emak membaca Al qur’an. Untunglah Raka selalu belajar mengaji di
masjid gang sebelah. Jadi, Ia pandai untuk membimbing emak.
“Shadakallahul
adziim,” Raka mengakhiri bacaannya, tentu dengan masih diikuti suara emak.
“Emak
habis ini istirahat aja dulu, pasti emak cepek seharian tadi bantu-bantu di
rumah pak Haji Idris,” saran Raka sembari membenahi Al Qur’an.
“Iya
lek, hari ini emak capek sekali. Tapi nanti mau nunggu shalat isya dulu ya,
uhuk... uhuk...”
Raka
mengangguk. Dalam hati kecilnya ada rasa perih melihat emak yang sudah mulai
sakit-sakitan. Beliau memang bukan Ibu kandung Raka, tapi kasih sayang yang
diberikan emak kepada Raka sungguh membuat Raka menyayangi emak lebih dari
siapapun.
Ketika
itu Raka masih berumur 8 tahun. Dari kecil Raka tinggal disebuah panti asuhan.
Untuk Ibu dan ayah kandungnya, Raka sendiri tak tahu bagaimana rupa mereka.
Dalam umurnya yang masih terbilang amat belia itu, Raka pergi meninggalkan panti. Untuk alasannya
sendiri, Raka belum tahu persis apa yang benar-benar mendorongnya untuk
melakukan hal senekat itu. Ia selalu takjub melihat kehidupan jalanan. Maka,
meski masih belia Ia akan kuat memegang dan memperjuangkan apa yang
diinginkannya itu.
Jadilah Ia menjadi anak jalanan, makan entah
dari mana saja. Kadang menjadi kuli pasar, kadang menjadi tukang cuci piring,
kadang juga menjadi pengamen. Yang pasti satu tekadnya, dalam keadaan apapun ia
tak akan menjadi pengemis atau pencuri. Lebih baik menjadi tukang sapu daripada
mengemis. Begitulah tekad Raka cilik..
Hingga
akhirnya bertemulah Raka dengan emak. Waktu itu
Raka tengah memegangi perutnya
yang kesakitan. Dua hari ia tak makan. Emak yang baik, lalu mengajaknya ke
gubuk sederhananya. Keadaan emak tak jauh berbeda dengan Raka. Emak pun bekerja
serabutan. Kadang mencuci baju di tetangga, kadang mencari bekas-bekas botol
aqua atau apa saja. Ternyata emak tinggal sendiri, ketika Raka menanyakan di
mana keluarga yang lainnya, emak hanya menunduk , ada bulir-bulir air mata yang
terjatuh ke pipinya. Raka pun tak berani menanyakan hal tersebut lagi pada emak.
Dan emak yang memang hidup sendiri meminta Raka untuk tinggal bersama di
rumahnya. Tadinya Raka ragu, tapi melihat emak yang memang benar-benar sendiri,
Raka pun tak tega untuk menolaknya. Toh, selama ini juga dia tak punya tempat
tinggal.
Ternyata
emak sangat baik. Selalu menyiapkan sarapan. Selalu menyuruh Raka untuk
mengikuti sekolah alam sejenak yang diadakan oleh salah satu LSM dalam rangka
pembinaan anak-anak jalanan. Selalu mengingatkan Raka untuk shalat lima waktu
dan tak lupa pula selalu meminta Raka untuk ikut belajar mengaji di mushala
gang tetangga.
Ah
emak begitu baiknya dirimu, bathin Raka dalam hati. Pandanganya tak lepas dari
emak yang menerawang ke luar rumah. Entah apa yang sedang dipikirkan wanita
baya itu.
***
Crek
crek...Raka menggoyang-goyangkan celengan ayamnya untuk melihat sudah seberapa
banyakkah tabungan miliknya. Ah, nampaknya
sedikit lagi. Raka tersenyum ceria. Raka benar-benar tak sabar agar
celengan itu benar-benar penuh. Raka ingin membelikan kacamata untuk emak. Ia
ingin melihat emak lancar membaca Al Qur’an.. Bukan, bukan karena Raka telah
lelah menemani emak membaca Al Qur’an. Tapi justru karena Raka ingin melihat senyum emak saat membacanya. Emak selau rajin
membaca dan mentadaburi Al Qur’an. Lagi pula Raka ingin membelikan Al Qur’an
baru untuk emak. Al Qur’an yang sekarang sudah kusam ditambah lagi banyak yang
sobek halaman-halamannnya. Maka dari itulah Raka rela mengamen untuk menambah
uang penghasilan demi memberi hadiah istimewa buat emak.
“Lampu
merah, ka!!” teriak Nino si gendut pada Raka. Sementara Raka terhenyak dari
lamunannya mendengar suara Nino.Segera, kedua bocah itu langsung berpencar mendekati
pintu kaca mobil yang berhenti di stoppan lampu merah. Raka menuju mobil xenia silver
sementara Nino menuju Daihatsu yang ada di belakangnya. Tangan Raka lihai memtik senar gitar yang telah usang itu.
“
Bertahan satu cinta, bertahan satu C.I.N.T.A ....,” alunan lagu D’Bagindaz terdengar
merdu dari mulut Raka. Raka terus saja menyanyi sampai orang tambun berkumis
tipis yang duduk di dalamnya membuka kaca mobil lalu melemparkan selembar uang
kertas bergambar Sultan Mahmud Badaruddin II pada kantong permen milik Raka.
Raka tertegun tak percaya memandangi lembaran
itu, termasuk jumlah yang cukup lumayan untuk ukuran pengamen jalanan seperti
Raka. Jarang sekali orang-orang yang memberi uang segitu. Paling dari mereka
tak jauh dari seribu atau bahkan ada saja yang memberi uang receh dua ratus
rupiah.
Baru saja ia mau mengucapkan terimakasih, Sang
pemilik mobil langsung menutup pintu kacanya. Hmmm, Raka mendengus tapi kemudian
tersenyum kecil. Tak apa, yang pasti pemilik mobil itu masih mau membagikan
sedikit rezeki untuknya. Dan ya, meski sekilas pemilik mobil itu terlihat
menyeramkan, tapi dia berhati baik juga. Pikir Raka dalam hati. Ah, rezeki...
syukuri saja. Lanjut ocehan bathinnya.
Raka
melangkahkan kakinya ke mobil-mobil yang lain dengan penuh semangat. Terbayang
sebuah kacamata dan alqur’an baru yang akan ia persembahkan untuk emak.
****
Jakarta
Minggu pagi ini bergelayut mendung. Jalanan pun begitu sepi. Hanya beberapa orang saja yang terlihat
sedang jalan-jalan pagi menghirup aroma Jakarta.
Pagi
ini Raka masih di dalam kamar mungilnya yang masih berantakan. Maklum, semua
barang tumplek blek di kamarnya yang tak terlalu besar itu. Malah bisa
dikatakan kamar itu terlalu sempit untuk Raka.
Dan
ya, sedari tadi, bahkan kemarin, matanya selalu awas dengan sebuah benda yang
kini tengah dinilainya sebagai benda paling
berharga dalam hidupnya. Celengan ayam. Betapa tidak, celengan itulah
yang nantinya akan mengantarkannya pada senyum emak. Dan yups, celengan itu
kini sudah penuh. Ah, emak pasti suka dengan kejutan ini.
Dan
braaaak!! Celengan itu resmilah pecah. Dengan cekataan Ia menghitung lembaran dan
recehan yang tergeletak berantakan di ubin kamarnya. Alhamdulillah, berkat
kegigihannya, akhirnya Raka akan segera membelikan kacamata dan Al Qur’an baru
yang ukurannya lebih besar untuk emak.
Ia
pandangi wajah tirus emak yang tengah tertidur lelap. Ah emak, terimakasih emak
sudah bersedia merawat Raka. Menjadi anakmu adalah hal yang terindah, meski
hanya anak angkat semata, tak masalah. Ucap bathinnya lirih sembari menyeka
bulir-bulir air mata yang menggenag di sudut matanya.
Hari
ini juga, Raka akan pergi ke Optik Kencana untuk membeli kacamata. Dulu emak
diperiksa di sini. Dan selanjutnya, Raka akan pergi ke toko buku’Cahaya’ untuk
membeli Al Qur’an yang agak besaran untuk emak.
***
“Hai
ka, gak ngamen kamu?” seru Nino dari seberang jalan.
“Tidak,
hari ni libur dulu. Aku ada perlu!!” jawab Raka setengah teriak.
“Oke,
hati-hati ya”
“Siip
!!!” Raka mengacungkan jempolnya sambil berlalu.
Raka
tersenyum, langkahnya begitu riang. Tak lama, Raka telah berkerumun dengan
orang-orang dikeramaian kota.
Ah,
ternyata tak sulit menemukan dua benda istimewa itu. Emak pasti sangat senang
melihatnya. Tak sabar Raka untuk segera sampai di rumah.
Criiiiiit....
dan braaak!! Suara mobil mengerem mendadak disusul suara benda yang jatuh.
“Hai,
kalau jalan hati-hati dong!!” teriak seorang pria dari dalam mobil. Pria tambun
berkumis tipis waktu lalu.
Raka
hanya menunduk, tak ada yang luka dari Raka. Hanya saja kacamata yang Ia pegang
terjatuh. Dan ternyata kacamata tersebut pecah!!. Entah apa yang Ia rasakan, yang
pasti remuk redamlah semua asanya. Sementara pria itu tak mempedulikannya. Ia
justru melajukan mobilnya lagi tanpa sebuah ma’af sekalipun. Benarkah memang
begitulah manusia?? Kemarin Ia sempat terpesona akan kebaikan orang tersebut
yang telah memberi uang lebih atas suaranya. Tapi kini?? Ah... banyak misteri
kota yang belum mampu ia pahami.
***
“Walahum
maqaa mi u’ min hadiid,” Suara Raka masih terdengar nyaring dan masih diikuti
dengan suara emak yang mulai parau.
Sekilas
Raka memandang wajah emak yang mulai renta. Ah, emak ma’afkan Raka. Meski hanya
alqur’an baru yang bisa Raka beri untuk
emak, tapi Raka akan tetap membantu emak untuk mengeja al qur’an.
Raka
akan senantiasa setia menuntun emak. Selalu. Dan tentu, tak akan pernah bosan
untuk menjadi guide kecil emak.
“Walibaasuhum
fiiha khariir...” dan lagi suara Raka masih terdengar nyaring dan diikuti suara
emak.(*)
-Ika-
Ket: Cerpen ini pernah masuk dalam cerjek Annida
6 komentar:
Cerjek itu cerita... apa ya?
Cerpen Rijeck mbak Diella, hehe...
kena tolak ;)
Ahahahaha.... Istilah baru tuh...
Wah bagus nih postinganya..
Mbak Diella... keren ya istilahnya :)
Cik Awi... terimakasih, mudah-mudahan masih bisa bermanfaat meski kena rijeck ;)
Bagaimana pendapat Anda...